Pertama, keterjangkauan harga listrik yang erat kaitannya dengan kemampuan PLN membeli listrik yang dihasilkan oleh suatu proyek pembangkit PLTP. Dalam hal ini, PLN mewakili kemampuan beli masyarakat Indonesia.
Pemerintah mendukung keterjangkauan harga listrik karena negara wajib melistriki masyarakat dengan memastikan harga tersebut sesuai dengan kemampuan. Pasalnya, jangan sampai ada energi berlebihan tetapi masyarakat tidak bisa terlistriki karena tidak mampu membeli.
Baca Juga:
Tujuh Tahun Terakhir, Rasio Elektrifikasi PLN NTT Naik 34 Persen
Tantangan kedua ialah aturan kebijakan. Prijandaru mengakui ada satu hal yang sangat memberatkan pelaku usaha panas bumi ialah kepastian pembelian listrik oleh PLN karena investasi pembangunan PLTP membutuhkan biaya yang sangat besar.
Dia memberikan gambaran, ada satu perusahaan melakukan eksplorasi di satu lapangan, big hole dengan 6 sumur. Biaya eksplorasi yang dihabiskan sekitar US$ 150 juta. Dengan uang sebesar itu tentu saja pelaku usaha menginginkan adanya kepastian pembelian oleh PLN di depan karena perusahaan listrik milik negara ini merupakan single buyer. Itupun harga listrik yang akan dibeli PLN mempertimbangkan keterjangkauan harga.
“Ini memberikan ketidakpastian bagi kita bila tidak mendapatkan Power Purchase Aggreement (PPA) di depan untuk komitmen investasi segitu besar. Ini yang memberatkan pengembangan diminita eksplorasi baru negosiasi PPA dengan PLN,” terangnya.
Baca Juga:
Sambut HLN Ke-79, Donasi Insan PLN Terangi 3.725 Keluarga se-Indonesia
Di sisi lain, API meminta kehadiran pemerintah dalam memberikan tata waktu negosiasi business to business (B2B) tarif listrik dengan PLN. Selama ini, negosiasi panas bumi bisa sampai 2 tahun hingga 3 tahun lamanya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menjelaskan, biaya pengadaan listrik dari panas bumi di Indonesia masih relatif belum kompetitif dibandingkan dengan rata-rata pengadaan listrik nasional.
Menurut data Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, rata-rata harga listrik panas bumi saat ini di atas US$ 10 sen per kiloWatt hour (KWh). Rata-rata harga listrik EBT non-panas bumi saat ini diinformasikan telah berada di bawah US$ 10 sen/KWh. Sebagai contoh harga listrik PLTA berada pada kisaran US$ 6 sen hingga US$ 7 sen/Kwh.