Dikonfirmasi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan, penambahan 51,6% pembangkit EBT yang direncanakan dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 mencapai hingga US$ 75 miliar.
"Total kebutuhan investasi pembangkit sekitar US$ 65 miliar hingga US$ 75 miliar," jelas Fabby kepada Kontan, Kamis (21/10).
Baca Juga:
Era Energi Terbarukan, ALPERKLINAS: Transisi Energi Harus Didukung Semua Pihak
Fabby menjelaskan, sebagai gambaran kebutuhan investasi untuk Pembangkit Listrik tenaga Surya (PLTS) Utility Scale sebesar US$ 0,7 juta hingga US$ 0,9 juta per MW bergantung pada size dan lokasi.
Investasi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebesar US$ 3 juta hingga US$ 4 juta per MW, sementara investasi Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) sebesar US$ 2,5 juta hingga US$ 3 juta per MW.
Adapun, investasi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) sebesar US$ 1,2 juta hingga US$ 1,3 juta per MW.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Mengenai rencana early retirement PLTU dengan skema Energy Transition Mechanism (ETM), Fabby menjelaskan, dengan skema ini maka masa sisa kontrak PLTU atau nilai aset PLTU dapat di buy out, serta pemilik PLTU akan diminta untuk berinvestasi pada pembangkit Energi Terbarukan. "Ada potensi 12-16 GW PLTU yang bisa pensiun dini. Kriterianya adalah pembangkit jenis sub-critical, efisiensi rendah, dan emisinya tinggi," pungkas Fabby. [ana]