Pembangkit batu bara saat ini menurutnya masih sanggup untuk menopang beban, namun ketika pembangkit EBT dipaksa untuk masuk, maka tentunya akan berdampak pada pasokan listrik yang semakin berlebih.
Ketika ini terjadi dan PLN dipaksa tetap harus membeli listrik EBT baru, termasuk pada harga berapa pun, maka diperkirakan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN akan semakin membengkak. Kalau pun ada kompensasi diperkirakan akan memakan waktu bagi pemerintah untuk membayarnya ke PLN.
Baca Juga:
Eks Menlu RI Retno Marsudi Diangkat jadi Dewan Direksi Perusahaan Energi Singapura
"Kan pembangkit idle harus dikurangi kapasitasnya, kalau dikurangi biaya produksi naik. Ditambah EBT, bisa gak produksi lebih murah, kalau gak, BPP naik. Kalau BPP naik, kompensasi bisa lari ke tarif dan kompensasi negara," jelasnya, dikutip Jumat (05/11/2021).
Pemerintah punya target bauran energi 23% pada 2025 mendatang, di mana pemanfaatan energi surya melalui Pembangkit Listrik Energi Surya (PLTS) menjadi salah satu yang didorong untuk mencapai target bauran.
Sayangnya, RI belum punya pabrikan yang memadai untuk memproduksi solar panel. Saat ini mayoritas solar panel di dunia adalah buatan China, mencapai sekitar 70%-80%.
Baca Juga:
Buka Kejuaraan Nasional Renang Antar Klub Se-Indonesia, Wamenpora Harap Dapat Lahirkan Atlet Berprestasi
Khusus untuk PLTS Atap guna mempercepat pemanfaatannya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal merevisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 jo No. 13/2019 jo No.16/2019 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero).
Salah satu poin yang direvisi dalam Peraturan Menteri ESDM ini yaitu mengenai ketentuan ekspor listrik ke PT PLN (Persero), yang mulanya dibatasi 65%, direvisi menjadi 100%.
Tumiran berpandangan, pemanfaatan EBT dengan mengandalkan produk impor menjadi sesuatu yang tidak adil. Menurutnya, ini hanya memfasilitasi impor saja dan menyebabkan BPP naik yang ujungnya bakal dikompensasi oleh negara.